Semangat Dagang
Senin, 3 September 2012 | 07:28 WIB
Shutterstock Ilustrasi
KOMPAS.com - Sebagian di
antara pemerhati ekonomi dunia hingga kini pasti masih takjub. Mengapa
China, yang pada 1978 demikian miskin, pendapatan per kapita di
bawah 100 dollar AS per tahun, kini ibarat terbang, menjadi negara
dengan kekuatan ekonomi nomor dua di dunia setelah Amerika Serikat?
Jepang, Jerman, Inggris, Perancis, Kanada, Italia, dan Australia
otomatis tergeser ke belakang.
Bahkan, Amerika Serikat kini berdebar-debar sebab dalam waktu
beberapa tahun mendatang peluang China menjadi negara dengan kekuatan
ekonomi nomor satu di dunia sangat terbuka. Itu berarti, Amerika
Serikat akan berdiri agak ke pinggir karena ia bukan lagi negara
adidaya ekonomi.
Selama lebih dari 30 tahun China melakukan apa
yang disebut revolusi produksi. China melipatgandakan semua industri,
perkebunan, pertanian, dan kerajinan. Produk China merajalela di
mana-mana. Sudah produknya berkualitas, harganya pun lebih murah.
Siapa bisa lawan? Lalu, produknya, yang serba massal itu, benar-benar mencengangkan. Pakaian, komputer, sampai korek api bisa diproduksi dalam jumlah jutaan per bulan. Namun, sudahlah, ini ”masih biasa”. Yang hebat, produk pertanian ikut melonjak tinggi, benar-benar luar biasa. Jika iklim bersahabat, hasil pertanian (beras) China berlimpah, lalu sebagian diekspor. Dunia tercengang sebab penduduk China sebanyak 1,4 miliar adalah pemakan nasi. Bisa dibayangkan betapa tinggi produktivitas sawahnya kalau masih bisa ekspor. Indonesia, yang jumlah penduduknya ”hanya” 241 juta jiwa, tanah subur, dan sawah di mana-mana, mengimpor beras jutaan ton per tahun.
Sukses China mengilhami Vietnam yang praktis baru bisa membangun dengan lancar tahun 1990. Meski sudah menang perang tahun 1975, Vietnam dalam kondisi tercabik-cabik. Perlu waktu untuk konsolidasi kekuatan. Vietnam, seperti China, memberlakukan satu negara dua sistem. Sistem ekonomi pasar diterapkan di seluruh negeri. Memang Vietnam tidak bisa seperti China, tetapi negara seluas 331.089 kilometer persegi (hampir seluas Jerman) itu mampu meraih kinerja memukau.
Apa yang membuat Vietnam maju? Pemerintah negara itu paham benar bahwa bangsa Vietnam adalah bangsa yang terbiasa bekerja keras, pantang menyerah. Elan rakyat Vietnam menjadi bangsa yang dipandang orang menyala-nyala. Di sisi lain, nah ini yang seru, rakyat Vietnam memiliki kultur berbisnis yang cerdas dan tangguh. Kultur itu tertanam jauh sebelum Perancis datang dan menjajah bangsa itu.
Di kota Hanoi, misalnya, spirit entrepreneur berkobar sangat indah. Hampir semua rumah penduduk di dalam kota membuka toko. Hukum ekonomi berjalan tegak, siapa bermodal kuat boleh punya usaha besar, toko yang lebar. Namun, yang pas-pasan, sampai kelas menengah, bersabar di toko yang lebarnya satu sampai tiga meter. Panjang toko kerap hanya satu meter, tetapi ada juga yang panjangnya dua sampai lima meter.
Menarik memperhatikan langgam orang Vietnam berbisnis. Meski kerap hanya ”jualan” beberapa botol minuman, beberapa bungkus rokok dan roti, pemilik toko rela duduk mencakung dari pagi hingga malam hari. Ketekunan mereka di antaranya tampak dari sini. Sebagian lagi membuka ”open air café ” dengan menjual minuman ringan, berikut bangku-bangku plastik, yang biasa dipakai anak-anak kelas satu sekolah dasar. Harga minuman (teh, kopi) dari Rp 2.000 sampai Rp 3.000 per gelas. Dari sini bisa diketahui omzet pemilik ”café”. Namun, dari segi nominal memang kecil. Namun, inilah cara pemerintah Vietnam membangkitkan elan entrepreneur rakyat. Pada saatnya, pedagang gurem itu akan menjadi pedagang besar.
Indonesia sudah melangkah jauh di depan Vietnam, tetapi bukan berarti mengabaikan kekuatan Vietnam. Sepuluh tahun lagi, bangsa unggul itu akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi mengagumkan. Mereka memiliki keterampilan, kecerdasan, dan sumber daya alam memadai. (Abun Sanda)
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
Erlangga Djumena
Tidak ada komentar:
Posting Komentar